Latar Belakang

Provinsi DKI Jakarta merupakan Ibu Kota Republik Indonesia yang memiliki permasalahan kebencanaan yang kompleks. Dengan luas 661,52 km2, 40% atau 24.000 hektar merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata di bawah permukaan air laut. DKI Jakarta juga merupakan pertemuan sungai dari bagian selatan dengan kemiringan dan curah hujan tinggi. Terdapat 13 sungai yang melewati dan bermuara ke Teluk Jakarta. Secara alamiah, kondisi ini memosisikan wilayah DKI Jakarta memiliki kerawanan yang tinggi terhadap banjir.

Beberapa wilayah DKI Jakarta, pada musim penghujan menjadi wilayah banjir. Dari catatan sejarah kejadian banjir, banjir besar pernah terjadi pada tahun 1621, 1654 dan 1918. Banjir besar juga terjadi pada tahun 1976, 1996, 2002, 2007 dan 2013. Banjir tahun 1996 menggenangi hampir seluruh penjuru kota. Kejadian ini menjadi tragedi nasional dan mendapat perhatian dunia. Banjir tahun 2007 juga memiliki cakupan wilayah genangan lebih luas. Berulangnya kejadian banjir per lima tahun menyebabkan banyak kalangan memercayai sebagai siklus lima tahunan. Kerusakan dan kerugian terhadap aset terkena banjir yang melanda DKI Jakarta, Bogor, Depok, tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) tahun 2007, baik milik pemerintah, aset dunia usaha dan aset masyarakat diperkirakan senilai Rp5,16 triliun.

Selain ancaman bencana banjir, DKI Jakarta juga memiliki ancaman bencana lain berupa cuaca ekstrim, gelombang ekstrim, gempa bumi, tanah longsor maupun ancaman bencana non alam dan sosial seperti konflik sosial, kegagalan teknologi, epidemi, dan wabah penyakit, kebakaran gedung dan pemukiman.

Resiko bencana di DKI Jakarta dipengaruhi oleh ancaman bencana, kerentanan, dan kapasitas dalam menghadapi ancaman yang ada. Curah hujan tinggi dalam waktu yang pendek meningkatkan tingkat bahaya banjir akibat topografi wilayah, daya dukung lingkungan yang semakin menurun maupun kerentanan dan kapasitas warga dalam menghadapi ancaman bencana. Penurunan permukaan tanah yang diakibatkan oleh ekspoitasi air yang berlebihan dan pembangunan insfrastruktur semakin meningkatkan ancaman banjir dan meningkatkan kerentanan wilayah maupun komunitas DKI Jakarta.

Dampak perubahan iklim yang saat ini ada, secara signifikan memengaruhi tingkat resiko bencana. Karena selain memengaruhi variabel ancaman bencana, khususnya hidrometereologis dan biologis, juga memengaruhi kerentanan dan kapasitas yang ada. Hasil kajian Economy and Enviroment Program For Souteast Asia (EEPSEA) menyebutkan bahwa DKI Jakarta merupakan daerah yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Dari 530 kota di 7 negara, Indonesia, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia, dan Filipina, Indonesia merupakan negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kondisi in perlu disikapi secara sinergis dalam pemanfaatan ruang, lingkungan yang menempatkan pengurangan resiko bencana sebagai landasan berpikir.

Kompleksnya bencana di DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia, megapolitan maupun pusat pertumbuhan dan pembangunan, membutuhkan sebuah perencanaan yang sifatnya terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh. Rencana penanggulangan bencana Provinsi DKI Jakarta akan menjadi pedoman dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam lima tahun mendatang. Baik bagi pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha maupun masyarakat. Dimulai dari pengenalan dan pengkajian ancaman bencana, pemahaman tentang kerentanan masyarakat, analisis kemungkinan dampak bencana, pilihan tindakan pengurangan resiko bencana, penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana, dan alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia.

Telah cukup banyak inisiatif masyarakat dalam menghargai ancaman bencana di provinsi DKI Jakarta, khususnya banjir. Upaya tersebut di wujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan dari mulai penyadaran masyarakat, pemetaan kawasan rawan bencana, membuat dan menyiapkan jalur evakuasi, peringatan dini banjir, membentuk kelompok siaga bencana, dan lain sebagainya. Demikian juga yang dilakukan pemangku kepentingan lain seperti sektor swasta maupun kelompok-kelompok masyarakat sipil, Inisiatif ini perlu terus didorong dan dikembangkan. Keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan dalam perencanaan merupakan bagian dari upaya menyinergikan penyelenggaraan penanggulangan bencana.